Nikmatnya Istri Anak Buahku 2
Sampai di pabrik saya tidak konsentrasi dalam mengawasi karyawan melaksanakan kiprah masing-masing dan masih memikirkan apa maunya Hartini. Saya sengaja agak lebih usang pulang makan malamnya sekitar jam8.30malam,dan suasana perumahan sudah agak sepi alasannya ialah gerimis dari sore. Saya eksklusif menempat motor dinas ke belakang rumah semoga tidak menyolok dari luar. Saya masuk rumah dan menyalakan lampu
sebentar lalu dari celah papan, saya mengintip rumah sebelah dan kelihatan rumah sangat gelap,
karena biasanya pada ketika tidur memang kebiasaan lampu dimatikan. Pandangan orang dari luar jikalau lampu
sudah dimatikan biasanya enggan bertamu paling tidak jikalau tidak benar-benar penting sekali.
“Tin…..udah tidur ya, kesini dong?” teriakku pelan, sampai dua kali saya berteriak pelan, Hartinipun
mendekat dibatasi oleh papan pembatas berbisik
“Pintu belakang tidak dikunci, Alex aja yang kesini”
Sayapun berjalan menuju kebelakang rumah sambil mematikan lampu ruang tengah, sehingga dari luar
kelihatan saya sudah pergi kembali ke pabrik. Karena sangat gelap saya membiasakan mata dulu, baru
mengawasi sekeliling. Mengingat kaos kerja yang saya pakai berwarna putih, saya membuka dan
menyangkutkan di pintu belakang sebelah dalam. Lalu berjingkat-jingkat perlahan saya menuju pintu
belakang rumah Hartini. Dengan sangat hati-hati saya mendorong pintu, takut mengeluarkan bunyi dan
berjalan pelan sekali sambil menahan nafas, takut getaran kaki saya di lantai papan kedengaran sama orang
lain. Memasuki kamar depan, Hartini kelihatan tidur dengan menggunakan kain sarung sebatas dada dan kaos
you can see berwarna pink yang sanggup saya lihat dari cahaya lampu jalan di depan rumah masuk dari celah
papan kayu. Hartini berpura-pura memejamkan mata. Saya eksklusif jongkok di sampingnya dan meraba
bua dadanya tanpa membuka kain sarungnya. Dia melirik sambil tangannya mencubit pipi saya. Saya
teruskan dengan mencium bibirnya. Tak usang lalu beliau pun membalas dan tangan saya mulai
menurunkan kain sarungnya dan manaikkan kaos hingga buah dadanya kelihatan penuh. Saat itu Hartini
tidak menggunakan BH lagi menyerupai godaan saya siang harinya. Agak usang kami berciuman sambil tangan
kananku meremas-remas kedua buah dadanya. Saya merasa sudah sangat bergairah begitu juga penglihatan saya kepada Hartini. “Tin, mau nggak kita masukin, ntar saya buang di luar deh.” bisikku
“Lex, jangan dibuang di luar” jawabnya pelan sambil memelukku lebih keras sambil mencium pipi kiriku. “Ntar jikalau hamil gimana dong, sanggup ancaman kita” sahutku.
Tanganku masih terus memutar-mutar puting kirinya. Tangan kiriku memangku lehernya sambil menahan
berat tubuhku, alasannya ialah ketika itu saya masih jongkok.
“Biar aja. Aku kan punya suami. Kalau saya hamil kan wajar”
“Tapi jikalau nantinya anaknya lahir menyerupai saya gimana dong, suamimu sanggup curiga loh”
Dia menatap saya memelas, menyerupai meminta pertolongan, saya merasa kasihan melihat wajahnya.
“Tolongin saya ya Lex, pokoknya dikeluarin didalam aja. Saya tanggung kau tidak akan apa-apa. Aku pengen hamil Lex.
Aku ingin buktikan kepada keluarga suamiku bahwa saya tidak mandul.”
Sepertinya beliau memohon. Saya ingat bahwa Hartini pernah kisah bahwa beberapa keluarga suaminya rahasia sudah menganjurkan semoga suaminya mencari istri lagi jikalau ingin punya anak.
“Kamu sudah yakin” Saya ingin menegaskan lagi bahwa beliau memang meninginkannya.
“Iya Lex, tolongin saya ya” bisiknya eksklusif mencium bibirku.
Saya pun membalas ciumannya setelah yakin beliau memang sangat menginginkannya. Sambil tetap berciuman tanganku mulai menarik turun kain sarungnya hingga lepas melewati kaki. Saya melepaskan bibirku turun ke puting buah dadanya
sambil tangan kananku meraba pangkal paha. Sepertinya celana dalam Hartini sudah agak basah. Hartini mendesah pelan
sambil tangannya masih memeluk kepalaku, sekali-kali berusaha menekan kearah teteknya yang sedang
saya putar-putar pakai lidah, sambil tanganku menarik celana dalamnya turun lepas dari kakinya dibantu dengan gerak pantat Hartini yang terangkat. Mataku sekali-sekali melirik ke arah vagina yang ditumbuhi rambut-rambut keriting yang lebat dan tanganku meraba-raba menyisihkan bulu-bulu jembut yang tumbuh dengan suburnyaitu agar
tanganku sanggup masuk ke lubang vaginanya.
Refleks tangan kiri Hartini menangkap tangan kananku dan menariknya ke atas tanpa
melepaskannya lagi. Saat itu mulutku mulai turun ke arah perut, tetapi sesampai pusar Hartini menolak dan
menahan kepalaku semoga jangan hingga ke memeknya. Saya berusaha pelan-pelan menarik kepalaku sampai
mulutku hampir mencium vaginanya. Tiba-tiba Hartini bangun duduk. Saya kaget dan takut beliau marah.
Sambil menatapku beliau melingkarkan tangannya ke leherku, berbisik.
“Jangan cium, bau. Aku nggak mau dicium itu.”
“Nggak busuk kok Tin, malah harum. Sebentar aja ya” jawabku merayu sambil cium lehernya. Hartini
menggelinjing dan sambil mendesah pelan
“Pokoknya jangan ya Lex, kau masukin aja punya kamu”
Tangannya meraba ke arah ******ku, yang sudah menegang tapi tidak maksimum alasannya ialah kurang konsentrasi,setiap ketika harus mengawasi bunyi di sekeliling rumah. Saat itu saya malah masih menggunakan celana kerja
telanjang dada.Hartini berusaha membuka gesper, tapi agak kesulitan. Saya bangun dan membuka sendiri
sampai benar-benar telanjang. Lalu saya tunjukkan ******ku kepada Hartini, beliau membuang muka. Saya
memegang kepalanya bermaksud semoga beliau mau mengoral ******ku, tapi beliau bertahan tidak mau. Akhirnya
kami kembali berbaring di kawasan tidur menetralkan suasana sambil kembali memulai cumbuan. Akhirnya
saya dan Hartini tampaknya sudah kembali sama-sama terangsang, dan saya putuskan mengangkat kaki kananku merenggangkan kedua kakinya. Sedikit demi sedikit kakinya mulai ngangkang hingga kedua kakiku bisa
masuk, siap untuk memasuki lubang surga. Tapi Hartini memelukku dengan erat hingga mulutnya
menyumpal mulutku dan membisiki,
“Kita di lantai aja ya. Jangan disini. Soalnya kawasan tidurnya berisik nanti”
Tanpa menjawab saya eksklusif bangun turun dari kawasan tidur dan Hartini ikut bangun sambil bawa sebuah
bantal dan berbaring merenggangkan kakinya di lantai. Saya yang sudah nggak sabaran langsung
mengambil posisi. Tak lupa kaos pinknya saya buka hingga lepas melewati kepala. Tangan kanan saya
memegang ******ku mengarahkan ke vagina yang sudah banyak mengeluarkan cairan birahi. Sesaat sehabis menyentuh bibir vaginanya, kami berdua saling memandang, seolah-olah meminta persetujuan, dan
mulutku mencium lisan Hartini dan eksklusif dibalas sambil memeluk erat.
“Tin, gua masukin ya. Nggak nyesal kan?” bisikku kembali memastikan.
Hartini tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala pelan, tapi terasa bahwa beliau sudah merespon, pelan-pelan saya masukin ******ku yang berukuran diameter 4 cm dan panjang 12 cm. Saya menahan nafas
begitupun Hartini menikmati ketika indah tersebut. Walaupun vagina Hartini sudah mengeluarkan banyak
cairan lendir, tampaknya masih sanggup kurasakan betapa ketika memasuki memeknya terasa nikmat hingga sehabis masuk semua, saya diamkan sambil memandang muka Hartini yang memejamkan matanya. Sesaat
kemudian beliau membuka matanya dan eksklusif buang muka merapatkan pelukannya sambil mencium
leherku. Dengan bertumpukan kedua siku di lantai saya mulai menaik-turunkan pantatku, hingga kedengaran
bunyi bunyi dari lubang vagina Hartini menyerupai bunyi tepukan tangan di air.
“Plok…plok….plok……”
Beberapa usang saya menggenjot ******ku, tiba-tiba kedua kaki Hartini menjepit keras kedua kakiku sampai
saya kesusahan mengangkat pantatku, hingga ketika pantatku kuangkat terasa berat alasannya ialah pantat Hartini juga
ikut terangkat dan kurasakan leherku digigit. Saya berpikir mungkin beliau sudah orgasme, tapi kurasakan juga
ada yang mendesak dari ******ku.
“Kamu udah keluar duluan ya” tanyaku alasannya ialah jepitan kakinya terasa semakin usang semakin lemah sampai
kini telapak kakinya sudah menapaki lantai kayu lagi menyerupai semula.
Dia tidak menjawab hanya mencaricari mulutku dengan mulutnya dan melumat lidahku.
“Aku udah mau keluar nih, keluarin diluar aja ya?” bisikku sesaat setelah sanggup melepaskan lidahku dari
mulutnya, memastikan alasannya ialah saya masih takut resikonya di lalu hari.
“Tolongin saya Lex..aku ingin sekali hamil.” Suaranya menyerupai mau nangis meminta.
Tapi tangan kanannya sudah ditaruh diatas pantatku tampaknya menjaga semoga nantinya saya tidak melepaskan ******ku dari
vaginanya. “Ya udah, tapi kau harus jaga rahasia ini baik-baik ya?” jawabku
“Iya…iya…nggak usah khawatir, tapi kesepakatan jangan dibuang diluar ya” bisiknya.
Saya nggak jawab lagi tapi mulai menggenjot memeknya lagi yang tampaknya semakin kurang menjepit
karena sudah orgasme seraya mulutku mengulum lidahnya. Beberapa ketika lalu saya membisiki
telinganya, “Aku udah mau keluar” sambil genjotanku semakin cepat dan tangan kanannya menekan pantatku semakin
keras ditambah kedua kakinya menekan belakang pahaku dari atas sambil tangan kirinya memeluk leherku
dengan ketat, hingga akhirnya
“Ouchhhhhh……” mulutku mengulum lisan Hartini seakan mau menghabiskan ketika itu.
Dan terasa ada yang keluar dari kontolku membasahi memek Hartini.
“Crooot….crooot…croooooot…”
Sampai rasanya tidak ada lagi yang dikeluarkan gres saya menghentikan genjotanku dan membisu bertumpukan
kedua siku tangan dan ******ku sengaja saya tumpukan ke vagina Hartini. Saya melamun tidak bergerak,
sambil memandangi mukanya yang terpejam. Kukecup bibirnya dan berbisik.
“Tin, saya balik ya, kelamaan ntar orang lain sanggup curiga”
“Makasih ya Lex, makan malamnya sudah saya taruh di rumahmu tadi sebelum kau datang.” jawabnya
pelan.
Tetapi ketika saya mau melepaskan ******ku dari vaginanya, beliau meraih leherku dan sesaat mencium bibirku dengan mesra. Ketika sudah dilepaskan saya eksklusif bangun berdiri dan mencari celanaku yang saya lupa
taruh dimana. Hartini masih tiduran dan merapatkan kakinya memandang saya dan mengarahkan
telunjuknya ke kawasan tidur, tapi yang saya lihat malah celana dalamnya, dan mengambil dengan tangan kiri untuk diserahkan kepada Hartini , tapi beliau malah menarik tangan kananku dan tangan kanannya menyambut celana dalamnya
seraya menyuruhku pelan semoga jongkok Saya mengikuti saja tanpa tahu kemauannya. Hartini melap******ku yang masih lembap dengan pejuku yang bercampur dengan cairannya sendiri dengan celana dalam putihnya, saya tersenyum dan meremas susunya dengan tangan kiri. Kemudian telunjuknya menunjukkan dimana tadi celana saya lepaskan. Sesaat sehabis saya menggunakan celana, saya jongkok untuk mencium beliau dan pamit sekalian berterima kasih atas bonus basuh pakaian sanggup basuh penis, beliau tersenyum sambil mencubit pelan pipi kiri
sebentar lalu dari celah papan, saya mengintip rumah sebelah dan kelihatan rumah sangat gelap,
karena biasanya pada ketika tidur memang kebiasaan lampu dimatikan. Pandangan orang dari luar jikalau lampu
sudah dimatikan biasanya enggan bertamu paling tidak jikalau tidak benar-benar penting sekali.
“Tin…..udah tidur ya, kesini dong?” teriakku pelan, sampai dua kali saya berteriak pelan, Hartinipun
mendekat dibatasi oleh papan pembatas berbisik
“Pintu belakang tidak dikunci, Alex aja yang kesini”
Sayapun berjalan menuju kebelakang rumah sambil mematikan lampu ruang tengah, sehingga dari luar
kelihatan saya sudah pergi kembali ke pabrik. Karena sangat gelap saya membiasakan mata dulu, baru
mengawasi sekeliling. Mengingat kaos kerja yang saya pakai berwarna putih, saya membuka dan
menyangkutkan di pintu belakang sebelah dalam. Lalu berjingkat-jingkat perlahan saya menuju pintu
belakang rumah Hartini. Dengan sangat hati-hati saya mendorong pintu, takut mengeluarkan bunyi dan
berjalan pelan sekali sambil menahan nafas, takut getaran kaki saya di lantai papan kedengaran sama orang
lain. Memasuki kamar depan, Hartini kelihatan tidur dengan menggunakan kain sarung sebatas dada dan kaos
you can see berwarna pink yang sanggup saya lihat dari cahaya lampu jalan di depan rumah masuk dari celah
papan kayu. Hartini berpura-pura memejamkan mata. Saya eksklusif jongkok di sampingnya dan meraba
bua dadanya tanpa membuka kain sarungnya. Dia melirik sambil tangannya mencubit pipi saya. Saya
teruskan dengan mencium bibirnya. Tak usang lalu beliau pun membalas dan tangan saya mulai
menurunkan kain sarungnya dan manaikkan kaos hingga buah dadanya kelihatan penuh. Saat itu Hartini
tidak menggunakan BH lagi menyerupai godaan saya siang harinya. Agak usang kami berciuman sambil tangan
kananku meremas-remas kedua buah dadanya. Saya merasa sudah sangat bergairah begitu juga penglihatan saya kepada Hartini. “Tin, mau nggak kita masukin, ntar saya buang di luar deh.” bisikku
“Lex, jangan dibuang di luar” jawabnya pelan sambil memelukku lebih keras sambil mencium pipi kiriku. “Ntar jikalau hamil gimana dong, sanggup ancaman kita” sahutku.
Tanganku masih terus memutar-mutar puting kirinya. Tangan kiriku memangku lehernya sambil menahan
berat tubuhku, alasannya ialah ketika itu saya masih jongkok.
“Biar aja. Aku kan punya suami. Kalau saya hamil kan wajar”
“Tapi jikalau nantinya anaknya lahir menyerupai saya gimana dong, suamimu sanggup curiga loh”
Dia menatap saya memelas, menyerupai meminta pertolongan, saya merasa kasihan melihat wajahnya.
“Tolongin saya ya Lex, pokoknya dikeluarin didalam aja. Saya tanggung kau tidak akan apa-apa. Aku pengen hamil Lex.
Aku ingin buktikan kepada keluarga suamiku bahwa saya tidak mandul.”
Sepertinya beliau memohon. Saya ingat bahwa Hartini pernah kisah bahwa beberapa keluarga suaminya rahasia sudah menganjurkan semoga suaminya mencari istri lagi jikalau ingin punya anak.
“Kamu sudah yakin” Saya ingin menegaskan lagi bahwa beliau memang meninginkannya.
“Iya Lex, tolongin saya ya” bisiknya eksklusif mencium bibirku.
Saya pun membalas ciumannya setelah yakin beliau memang sangat menginginkannya. Sambil tetap berciuman tanganku mulai menarik turun kain sarungnya hingga lepas melewati kaki. Saya melepaskan bibirku turun ke puting buah dadanya
sambil tangan kananku meraba pangkal paha. Sepertinya celana dalam Hartini sudah agak basah. Hartini mendesah pelan
sambil tangannya masih memeluk kepalaku, sekali-kali berusaha menekan kearah teteknya yang sedang
saya putar-putar pakai lidah, sambil tanganku menarik celana dalamnya turun lepas dari kakinya dibantu dengan gerak pantat Hartini yang terangkat. Mataku sekali-sekali melirik ke arah vagina yang ditumbuhi rambut-rambut keriting yang lebat dan tanganku meraba-raba menyisihkan bulu-bulu jembut yang tumbuh dengan suburnyaitu agar
tanganku sanggup masuk ke lubang vaginanya.
Refleks tangan kiri Hartini menangkap tangan kananku dan menariknya ke atas tanpa
melepaskannya lagi. Saat itu mulutku mulai turun ke arah perut, tetapi sesampai pusar Hartini menolak dan
menahan kepalaku semoga jangan hingga ke memeknya. Saya berusaha pelan-pelan menarik kepalaku sampai
mulutku hampir mencium vaginanya. Tiba-tiba Hartini bangun duduk. Saya kaget dan takut beliau marah.
Sambil menatapku beliau melingkarkan tangannya ke leherku, berbisik.
“Jangan cium, bau. Aku nggak mau dicium itu.”
“Nggak busuk kok Tin, malah harum. Sebentar aja ya” jawabku merayu sambil cium lehernya. Hartini
menggelinjing dan sambil mendesah pelan
“Pokoknya jangan ya Lex, kau masukin aja punya kamu”
Tangannya meraba ke arah ******ku, yang sudah menegang tapi tidak maksimum alasannya ialah kurang konsentrasi,setiap ketika harus mengawasi bunyi di sekeliling rumah. Saat itu saya malah masih menggunakan celana kerja
telanjang dada.Hartini berusaha membuka gesper, tapi agak kesulitan. Saya bangun dan membuka sendiri
sampai benar-benar telanjang. Lalu saya tunjukkan ******ku kepada Hartini, beliau membuang muka. Saya
memegang kepalanya bermaksud semoga beliau mau mengoral ******ku, tapi beliau bertahan tidak mau. Akhirnya
kami kembali berbaring di kawasan tidur menetralkan suasana sambil kembali memulai cumbuan. Akhirnya
saya dan Hartini tampaknya sudah kembali sama-sama terangsang, dan saya putuskan mengangkat kaki kananku merenggangkan kedua kakinya. Sedikit demi sedikit kakinya mulai ngangkang hingga kedua kakiku bisa
masuk, siap untuk memasuki lubang surga. Tapi Hartini memelukku dengan erat hingga mulutnya
menyumpal mulutku dan membisiki,
“Kita di lantai aja ya. Jangan disini. Soalnya kawasan tidurnya berisik nanti”
Tanpa menjawab saya eksklusif bangun turun dari kawasan tidur dan Hartini ikut bangun sambil bawa sebuah
bantal dan berbaring merenggangkan kakinya di lantai. Saya yang sudah nggak sabaran langsung
mengambil posisi. Tak lupa kaos pinknya saya buka hingga lepas melewati kepala. Tangan kanan saya
memegang ******ku mengarahkan ke vagina yang sudah banyak mengeluarkan cairan birahi. Sesaat sehabis menyentuh bibir vaginanya, kami berdua saling memandang, seolah-olah meminta persetujuan, dan
mulutku mencium lisan Hartini dan eksklusif dibalas sambil memeluk erat.
“Tin, gua masukin ya. Nggak nyesal kan?” bisikku kembali memastikan.
Hartini tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala pelan, tapi terasa bahwa beliau sudah merespon, pelan-pelan saya masukin ******ku yang berukuran diameter 4 cm dan panjang 12 cm. Saya menahan nafas
begitupun Hartini menikmati ketika indah tersebut. Walaupun vagina Hartini sudah mengeluarkan banyak
cairan lendir, tampaknya masih sanggup kurasakan betapa ketika memasuki memeknya terasa nikmat hingga sehabis masuk semua, saya diamkan sambil memandang muka Hartini yang memejamkan matanya. Sesaat
kemudian beliau membuka matanya dan eksklusif buang muka merapatkan pelukannya sambil mencium
leherku. Dengan bertumpukan kedua siku di lantai saya mulai menaik-turunkan pantatku, hingga kedengaran
bunyi bunyi dari lubang vagina Hartini menyerupai bunyi tepukan tangan di air.
“Plok…plok….plok……”
Beberapa usang saya menggenjot ******ku, tiba-tiba kedua kaki Hartini menjepit keras kedua kakiku sampai
saya kesusahan mengangkat pantatku, hingga ketika pantatku kuangkat terasa berat alasannya ialah pantat Hartini juga
ikut terangkat dan kurasakan leherku digigit. Saya berpikir mungkin beliau sudah orgasme, tapi kurasakan juga
ada yang mendesak dari ******ku.
“Kamu udah keluar duluan ya” tanyaku alasannya ialah jepitan kakinya terasa semakin usang semakin lemah sampai
kini telapak kakinya sudah menapaki lantai kayu lagi menyerupai semula.
Dia tidak menjawab hanya mencaricari mulutku dengan mulutnya dan melumat lidahku.
“Aku udah mau keluar nih, keluarin diluar aja ya?” bisikku sesaat setelah sanggup melepaskan lidahku dari
mulutnya, memastikan alasannya ialah saya masih takut resikonya di lalu hari.
“Tolongin saya Lex..aku ingin sekali hamil.” Suaranya menyerupai mau nangis meminta.
Tapi tangan kanannya sudah ditaruh diatas pantatku tampaknya menjaga semoga nantinya saya tidak melepaskan ******ku dari
vaginanya. “Ya udah, tapi kau harus jaga rahasia ini baik-baik ya?” jawabku
“Iya…iya…nggak usah khawatir, tapi kesepakatan jangan dibuang diluar ya” bisiknya.
Saya nggak jawab lagi tapi mulai menggenjot memeknya lagi yang tampaknya semakin kurang menjepit
karena sudah orgasme seraya mulutku mengulum lidahnya. Beberapa ketika lalu saya membisiki
telinganya, “Aku udah mau keluar” sambil genjotanku semakin cepat dan tangan kanannya menekan pantatku semakin
keras ditambah kedua kakinya menekan belakang pahaku dari atas sambil tangan kirinya memeluk leherku
dengan ketat, hingga akhirnya
“Ouchhhhhh……” mulutku mengulum lisan Hartini seakan mau menghabiskan ketika itu.
Dan terasa ada yang keluar dari kontolku membasahi memek Hartini.
“Crooot….crooot…croooooot…”
Sampai rasanya tidak ada lagi yang dikeluarkan gres saya menghentikan genjotanku dan membisu bertumpukan
kedua siku tangan dan ******ku sengaja saya tumpukan ke vagina Hartini. Saya melamun tidak bergerak,
sambil memandangi mukanya yang terpejam. Kukecup bibirnya dan berbisik.
“Tin, saya balik ya, kelamaan ntar orang lain sanggup curiga”
“Makasih ya Lex, makan malamnya sudah saya taruh di rumahmu tadi sebelum kau datang.” jawabnya
pelan.
Tetapi ketika saya mau melepaskan ******ku dari vaginanya, beliau meraih leherku dan sesaat mencium bibirku dengan mesra. Ketika sudah dilepaskan saya eksklusif bangun berdiri dan mencari celanaku yang saya lupa
taruh dimana. Hartini masih tiduran dan merapatkan kakinya memandang saya dan mengarahkan
telunjuknya ke kawasan tidur, tapi yang saya lihat malah celana dalamnya, dan mengambil dengan tangan kiri untuk diserahkan kepada Hartini , tapi beliau malah menarik tangan kananku dan tangan kanannya menyambut celana dalamnya
seraya menyuruhku pelan semoga jongkok Saya mengikuti saja tanpa tahu kemauannya. Hartini melap******ku yang masih lembap dengan pejuku yang bercampur dengan cairannya sendiri dengan celana dalam putihnya, saya tersenyum dan meremas susunya dengan tangan kiri. Kemudian telunjuknya menunjukkan dimana tadi celana saya lepaskan. Sesaat sehabis saya menggunakan celana, saya jongkok untuk mencium beliau dan pamit sekalian berterima kasih atas bonus basuh pakaian sanggup basuh penis, beliau tersenyum sambil mencubit pelan pipi kiri