Rintihan Kalbu
Suara gemuruh dari TV yang telah habis menayangkan programnya membuatku terjaga dari tidur di sofa. ku lirik jam di dinding telah memperlihatkan hampir puku l 2 dini hari. ku tarik nafas panjang untuk menghilangkan rasa sesak di dada, 2 bulan sudah berlalu semenjak kepergiaan istriku .
ku padamkan lampu-lampu yang tidak perlu kemudian perlahan ku buka pintu kamar anak-anakku tercinta, nampak mereka sudah tertidur dan ku lihat Lily juga tertidur di samping anak-anakku. Perlahan ku bangunkan dia, "Ly.., Ly..," panggilku perlahan untuk tidak membuatnya terkejut.
"Hghh..," sahutnya perlahan seraya membuka matanya yang masih mengantuk.
"Pindah ke kamar depan dech, suamimu mungkin tidak menjemput malam ini," ujarku berbisik.
"Oh..," sahutnya sejurus kemudian dan keluar dari balik selimut.
Tampak Lily telah mengenakan daster yang cuku p tipis sehingga nampak leku kan tubuhnya yang seksi, serpihan buah dadanya juga putingnya oleh alasannya beliau tidak memakai bra, dan celana dalamnya berwarna pink dengan gambar doraemon di bab pantatnya, yang sempat ku lihat sebelum ia menghilang di balik pintu. ku kecup pipi kedua anakku sendiri sebelum ku rapatkan kembali pintunya dan pergi ke kamarku sendiri untuk beristirahat dan kerja kembali esok hari alasannya cuku p banyak juga pekerjaan yang tertinggal selama ini.
Subuh ku terbangun oleh deringan jam meja yang telah ku persiapkan malam sebelumnya, mandi pagi dengan air hirau taacuh membuatku segar dan siap untuk bekerja.
"Bagaimana? Sudah kau pikirkan?" tanya bunyi lembut itu yang sangat ku kenal.
"Bu..," sahut Lily putus di tengah jalan
"Yach.. Mas Elmo masih muda, mungkin suatu ketika beliau akan mencari pengganti Linda almarhum kakakmu itu, jikalau sudah begitu apakah Ibu masih diijinkan tinggal di sini?" keluh Ibu sejurus kemudian
"Tapi Bu," Lily berusaha membantah perkataan Ibu
"Yach.. Ibu pikir daripada kau di sana di sia-sia lebih baik lepaskan Mas Indramu itu, mungkin Mas Elmo akan ijinkan Ibu tinggal di sini, tapi apakah calonnya akan mengijinkan juga?" masih tetap dengan bunyi lembut yang membujuk.
"Bagaimana dengan Ricky Bu?" tanya Lily lirih.
"Anakmu itu sudah cacat, kau ya harus berpikir untuk kebaikannya bukan untuk dirimu sendiri, Ibu rasa mungkin beliau akan lebih berbahagia bilamana di tempatkan di panti asuhan oleh alasannya bisa bermain dengan teman-teman senasibnya. Justru beliau akan menderita jikalau kau paksa untuk bergaul dengan belum dewasa normal lainnya," saran Ibu melanjutkan
Hening kemudian hanya denting piring yang beradu dengan sendok yang sedang dipersiapkan oleh Ibu mertuaku dan Lily putri bungsunya.
"Seandainya kau bisa mempunyai Mas Elmo, kita masih bisa tinggal di sini bila tidak Ibu tak tahu kita harus kemana lagi?" keluh Ibu.
"Bu..," hanya itu ucapan Lily terputus ketika tiba-tiba..
"Good morning, Pa," teriak Shanti anakku yang paling kecil dari atas tangga menyapaku yang sedang melongo di tangga mendengarkan percakapan tadi yang berasal dari ruang makan.
"Good morning honey," sapaku pula seraya melanjutkan langkahku menuruni tangga.
"Hi.. Shanti," sapa Lily seraya memperlihatkan wajahnya dari pintu ruang makan.
"Hi.. saya mandinya nanti yach," ungkapnya seraya kembali ke kamarnya terburu-buru.
"Eehh.. abang mana?" Lily bertanya dengan nada yang cuku p keras.
"Masih bobo..," terdengar jawaban dari balik pintu kamar tidur.
"Pagi Mas," sapa Lily sambil tersenyum manis.
"Pagi juga,"
"Pagi Bu," sapaku melanjutkan setelah bertemu dengan Ibu di ruang makan itu.
"Pagi,.. ini nasi goreng buatan Lyly nich," promosi Ibu melanjutkan.
"Wah.. terima kasih nich sudah merepotkan," ujarku sedikit berbasa basi.
"Sudah buruan makan.. nanti keburu hirau taacuh jadi nggak enak, supaya Ibu bangunkan belum dewasa dulu," tukas Ibu.
Dengan cekatan Lily melayaniku dengan mengambilkan nasi goreng tersebut sementara saya sendiri menyeruput secangkir teh manis sebagaimana kebiasaanku semenjak dulu. Di kantor pikiranku juga masih berkutat dengan pembicaraan Ibu tadi pagi, sehingga bersama-sama tidak seluruh pikiranku terkonsentrasi untuk pekerjaan. Masih terngiang-ngiang kemungkinan saya untuk memperistri Lily.. mungkinkah?
Sore hari ketika pulang kerja..
Sementara Lily berlutut untuk mencapai rak lemari yang paling bawah, sedangkan saya berdiri di samping sambil memperhatikannya. Tanpa sadar pandanganku tertuju pada buah dadanya yang nampak indah dipandang dari atas tersebut. Nampak terang lekukan buah dadanya oleh alasannya beliau memakai kaos yang longgar sehingga bab depannya agak terbuka ketika beliau dalam posisi yang sedikit membungkuk tersebut. Melihat pemandangan yang demikian mempesona, penisku terus saja menegang sehingga memperlihatkan tonjolannya di balik handuk yang kukenakan tersebut.
"Nach ini kaos..," suaranya terputus di tengah jalan ketika dalam posisi berlutut menyerupai itu menyerahkan kaos yang kuminta padaku oleh alasannya pandangannya terpaku pada batanganku yang mengeras di balik handuk. Kusadari waktu 2 bulan telah berlalu tanpa hubungan sex tentunya sulit bagiku, namun tertutup oleh kesibukanku. Sedangkan baginya.. dimana Mas Indra, suaminya, yang semenjak semalam berjanji untuk menjemputnya, setelah selama ini Lily membantu rumah tanggaku yang porak poranda semenjak ditinggal kepergian almarhum Linda, istriku yang juga abang dari Lily, mengurus anak-anakku, rumah tangga dan sebagainya.
Lily melongo dan tertunduk aib yang bagiku itu yaitu kode bahwa beliau tidak menolakku, sehingga kuberanikan diriku untuk membuka handuk tersebut sehingga kini tersembullah batangku yang telah tegak menantang dengan badan telanjang menyerupai ini, dimana masih ada tetesan air yang masih belum mengering, kuyakin menambah sexy penampilanku malam itu.
Perlahan kubangunkan Lily dan segera kukecup keningnya perlahan turun ke arah pipi dan menelusuri lehernya. Dengusan nafas yang memburu menciptakan adrenalinku terus meningkat, kuusap lembut pundaknya, telinganya, disertai dengan kecupan hangat yang kulaku kan dengan sepenuh hati.
"Mas El.. jangan," pintanya sesaat sebelum kucoba untuk melepaskan kaosnya.
"Lily," gumamku dengan pandangan mata memohon sehingga kuyakin sulit baginya untuk menolakku terlebih deru birahinya juga terus merayap keatas ubun-ubun.
Kukulum putingnya yang masih kecil kolam anak gadis, membuatku gemas.
"Mas.. ergh," rintihnya perlahan.
Belaian hangat jariku terus mengusap seluruh permukaan kulitnya yang putih mulus halus terawat disertai dengan jilatan dan pijatan ringan. Perlahan kudorong Lily sehingga rebah di kasurku.
"Mas kesepakatan jangan dimasukkan yach.., saya masih milik Indra," rintihnya kembali ketika kucoba mencopot celana pendeknya. Ternyata Lily tidak mengenakan celana dalam di balik celana pendeknya tersebut sehingga segera nampak rerumputan hitam dengan panjang yang seragam dan terawat dengan rapih.
"Iya saya janji," sahutku tanpa berhenti melepaskan celana pendeknya tersebut.
Harum amis tubuhnya terus memompa birahiku namun perlakuanku tetap saja lembut dan tidak terburu -buru untuk membawa Lily menikmati belaian asmara ini. Jilatan mandi kucing yang kulancarkan ini menciptakan Lily semakin terlena dan pasrah. Jilatan demi jilatan yang menyusuri setiap inci permukaan kulit dadanya, turun ke lembah buah dadanya, terus turun menelurusi garis tengah untuk mencapai kubangan di tengah pusaran perut, menciptakan otot perutnya tertarik tertahan menahan geli nikmat yang tidak terkira.
Kulewatkan bab padang ilalang hitam di sana, namun kumulai dari lipatan paha bab dalam kanan dan kiri yang terus menuruni jenjang kakinya dari bab dalam hingga mencapai punggung kakinya dan berakhir dengan teriakan tertahan yang disertai hentakan kakinya, "Akhh.."
Kubalikan tubuhnya dan kini jilatannya merayap naik dari bab tumitnya menelusuri betis indahnya sedikit ke bab dalam, tidak kupaksa untuk membuka lipatannya namun terus naik hingga ke punggung dan berakhir di sekitar tengkuknya yang mulus, disertai dengan bulu kuduknya yang telah berdiri membuatku semakin gemas, sehingga gigitan sedikit keras kuberikan padanya yang menambah sensasi nikmat, disertai dengan remasan jemari lentiknya pada bantal yang sempat diraihnya untuk membuatkan kenikmatan.
Puas bermain di punggungnya kembali kubalikkan tubuhnya, sesaat mata kami sempat beradu pandang, terlihat sayu tertutup perlahan dan menggodaku untuk mengecup lembut bibirnya. Kulumanku menerima jawaban yang malu-malu dan segera kuterobos dengan lidahku untuk mengait lidahnya sehingga pagutan lidahku bagaikan anutan listrik untuk mencetuskan butiran keringat halus bagaikan tetesan embun di dahinya.
Perlahan namun niscaya sambil berpagutan tersebut kunaiki badan mungilnya dan Lily sempat melirik ke beling yang ada di lemari pakaian dan terang nampak badan mungilnya kini berada dibawah tubuhku yang tinggi besar, sensasi tersendiri melihat tubuhku menindih badan mungilnya dimana gres kali ini dialaminya bahwa seorang laki-laki yang bukan suaminya tengah menindihnya dalam keadaan badan yang bugil, telanjang bulat.
Batanganku yang telah mengeras sempurna berada di atas perutnya dan ketika seluruh berat tubuhku telah menindihnya terang sekali kurasakan getaran tubuhnya laksana menggigil akhir menahan birahi. Kulumanku belum kulepaskan dan lidahku terus bermain dengan lidahnya dengan respon yang semakin menggila disertai lenguhan birahi.
Ketika kulepaskan pagutan liar itu, segera ku buka lebar pahanya sehingga terang terlihat ilalang hitam di bab bawah telah lepek dan tanpa rasa malu-malu lagi Lily terang membentangkan kakinya lebar-lebar, memberiku jalan untuk menerobos masuk. Namun tak kulakukan itu, sebaliknya perlahan kubuka lipatan bibirnya sehingga nampak celah memanjang bagaikan irisan roti dan diikuti dengan mengalirnya secara perlahan cairan kental menyerupai lem anak SD.
Setelah kujilat 1-2 kali sapuan, segera kuhisap berpengaruh di antara celah yang terbuka itu dan segera kurasakan beberapa cc cairan kental bening itu bagaikan benang yang ditarik dari sumur paling dalam dibetot keluar, akibatnya..
"Mas..," lengkingan tinggi Lily disertai dengan hentakan berulang kali dari pinggulnya yang tertarik ke atas dan kemudian berakhir dengan kekakuan pada tungkai kakinya selama beberapa ketika dan berakhir dengan selesainya hisapanku pada celah vaginanya.
Kubiarkan Lily yang telah mencapai orgasme pertamanya, matanya masih tertutup rapat tak bergerak menikmati gulungan birahi yang mulai mereda menyisakan kelelahan yang teramat sangat. Sesaat kemudian belaian jari lentiknya yang mengusap wajahku menyadarkanku dari lamunanku.
"Thanks yach.., Mas belum yach?" tanyanya sendu merasa bersalah.
Segera kukembangan senyum manisku yang menusuk kalbu, "Enak..," tanyaku suatu pertanyaan kurang pandai yang seharusnya tak perlu kutanyakan.
Anggukan halus dari Lily membenarkan pertanyaanku dan segera kulanjutkan "Pernah diberikan oleh Mas Indra?" selidikku untuk membandingkan kemampuanku.
Lily meraih penisku dan mengocoknya perlahan. "Mas Indra tidak pernah membelai, beliau lebih suka tembak pribadi dan itu juga nggak lama, sebentar juga keluar setelah itu tertidur tapi..," sahutnya memutus di tengah jalan.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Kalo besar sich lebih besar Mas Indra, jadi tiap kali sakit sesudahnya. Mungkin kurang foreplay kali yach," sahutnya untuk memperlihatkan alasan.
"Oh..," sahutku yang yakin bahwa apa yang kuberikan niscaya lebih berkesan dibandingkan dengan Indra suaminya.
Buliran keringat halus di keningnya dan sepanjang lehernya menggodaku untuk kembali menjilatnya dan kali ini Lily mengelinjang geli. Namun tak kuperdulikan. Kujilat habis seluruh buliran keringat di dahi dan sepanjang lehernya menelusuri uratnya kanan dan kiri yang berkilau tertimpa sinar lampu dan tanpa terasa tubuhku yang besar kembali menindihnya dan sempat melongo tatkala kurasakan batanganku terjepit di atas perutnya. Senyum penuh rasa aib berkembang di bibir Lily tatkala kedutan penis kuberikan padanya sehingga terang terasa di atas perutnya. Pagutan lidahku kembali menghisap bibirnya disertai pilinan jari jemariku yang lincah bermain di antara kedua putingnya.
"Mas.. jangan," pekiknya terkejut ketika kucoba untuk memasukkan penisku ke vaginanya.
"Iya dach.. saya bermain di depan aja yach," janjiku menenangkannya.
"Aku kocok saja yach," pintanya tergetar menahan birahi yang berusaha menerjang masuk oleh alasannya ujung kepala penisku telah berhasil membuka bibir kemaluannya dan bergesek di muara vaginanya. Aku menggeleng tanda tak setuju.
"Tapi jangan dimasukkan yach.. saya ngga mau merusak perkawinanku dengan Mas Indra, saya masih miliknya," rintihnya tertahan antara sadar dan nafsu.
"Aku kesepakatan dech," sahutku sekenanya oleh alasannya tabrakan kepala penisku terus memperlihatkan sensasi nikmat yang tiada taranya.
Hisapanku pada kedua putingnya, memaksa puting itu telah membesar sekitar 2 kali lipat dari semula, antara nanah dan juga rangsangan yang ada saya tak mempedulikan itu, namun permainan lidahku di putingnya membawa kenikmatan tersendiri sehingga tanpa ada penolakan lagi yang kuterima tahu-tahu seluruh batang penisku telah tertanam di rongga vaginanya dan ketika Lily tersadar..
"Mas, kok dimasukkan, tadi janjinya nggak masuk," protesnya dengan nada pasrah.
"Tanggung Li.., saya bener-bener nggak tahan," kataku seraya mulai memompa.
Busyet bener dach otot-otot vagina Lily, masih sangat kencang walaupun beliau pernah melahirkan, ototnya masih kencang sekali hasilnya tentu nikmat yang kurasakan ini kolam bermain dengan anak ABG saja. Hal sama juga dirasakan Lily bahwa dinding vaginanya masih ketat sehingga ketika saya memompa, beliau juga mengimbangi dengan goyangan pinggulnya untuk menekan ke atas, ketika kutusukan masuk sedalam-dalamnya, dan itu juga dikombinasikan dengan kontraksi otot kegelnya yang sangat baik, sehingga yang kurasakan dan kunikmati yaitu empotan vagina yang luar biasa.
Irama genjotanku semakin berpengaruh dan menemukan iramanya dengan goyangan pinggul Lily, yang secara mencuri juga memandang di dinding beling sehingga ketika ini terang nampak badan mungilnya timbul karam di kasur busa mengikuti hentakan tubuhku. Buliran keringat sebesar jagung telah membasahi tubuhku dan badan Lily yang menetes ke kasur busa dan bantal, seiring dengan dengus nafasku yang terus berpacu ditimpali oleh lenguhan dan rintihan Lily yang berkejaran.
Semakin usang kurasakan semakin sempit liang vagina Lily, sehingga tabrakan yang terjadi semakin mantap dan ketika kulirik terang terlihat lipatan bibir vagina Lily ketika ini mengikuti gerakan penisku, yang terang menonjolkan urat darahnya berwarna kebiru-biruan keluar masuk laksana mengurut batang penisku.
Secara refleks kini Lily telah mengangkat secara maksimal kedua tungkainya ke atas untuk memaksimalkan nikmat dunia yang kuberikan dan kubantu dengan mengangkat kakinya lebih tinggi lagi dan meletakkannya dipundakku.
"Hhh.. hh..," desisku seraya menghunjam-hunjamkan penisku ke dalam liang vaginanya sedalam mungkin.
"Aak..," desisan halusnya juga tak kalah gencarnya mengiringi tingkatan birahi yang terus mendaki untuk mencapai kepuasan tertinggi. Tak usang kemudian kurasakan rasa penuh, gatal dan kurasakan adanya desakan dari dalam yang akan segera memuntahkan lahar sperma.
"Ugh.. ahh..," pekik Lily tak tertahankan disertai dengan kejangnya ke dua tungkai kakinya dan tentu saja jepitan vagina itu menjadi maksimal sehingga akupun tidak tahan.
"Lily.. aku.. sampai," teriakku tanpa tertahankan disertai dengan hentakan berpengaruh menghantam vaginanya.
Crot.. crot.., bendungan lahar spermaku tak tertahankan lagi menyembur dengan dahsyatnya menghantam dinding verbal rahim Lily. Luluh lantak rasanya tulang belulang di tubuh, sehingga badan besarku bagaikan tak bertenaga ambruk menindih badan mungil Lily. Campuran keringat kami berdua di atas permukaan kulit memperlihatkan sensasi tersendiri, sementara kesadaran kami juga hilang untuk sesaat.
Antara sadar dan tak sadar sempat kulihat bayangan Ibu diuar pintu kamar sesaat sebelum terdengar pintu yang ditutup, memang tadi pintu itu tidak tertutup rapat sich.
"Ibu yach?" tanya Lily memandangku terkejut.
Aku tersenyum dan mengecup keningnya dan membiarkan penisku untuk tetap berada di vagina Lily, sebaliknya Lilypun membiarkan vaginanya untuk tetap menampung penisku dan kamipun tertidur pulas alasannya kelelahan.
Tamat
ku padamkan lampu-lampu yang tidak perlu kemudian perlahan ku buka pintu kamar anak-anakku tercinta, nampak mereka sudah tertidur dan ku lihat Lily juga tertidur di samping anak-anakku. Perlahan ku bangunkan dia, "Ly.., Ly..," panggilku perlahan untuk tidak membuatnya terkejut.
"Hghh..," sahutnya perlahan seraya membuka matanya yang masih mengantuk.
"Pindah ke kamar depan dech, suamimu mungkin tidak menjemput malam ini," ujarku berbisik.
"Oh..," sahutnya sejurus kemudian dan keluar dari balik selimut.
Tampak Lily telah mengenakan daster yang cuku p tipis sehingga nampak leku kan tubuhnya yang seksi, serpihan buah dadanya juga putingnya oleh alasannya beliau tidak memakai bra, dan celana dalamnya berwarna pink dengan gambar doraemon di bab pantatnya, yang sempat ku lihat sebelum ia menghilang di balik pintu. ku kecup pipi kedua anakku sendiri sebelum ku rapatkan kembali pintunya dan pergi ke kamarku sendiri untuk beristirahat dan kerja kembali esok hari alasannya cuku p banyak juga pekerjaan yang tertinggal selama ini.
Subuh ku terbangun oleh deringan jam meja yang telah ku persiapkan malam sebelumnya, mandi pagi dengan air hirau taacuh membuatku segar dan siap untuk bekerja.
"Bagaimana? Sudah kau pikirkan?" tanya bunyi lembut itu yang sangat ku kenal.
"Bu..," sahut Lily putus di tengah jalan
"Yach.. Mas Elmo masih muda, mungkin suatu ketika beliau akan mencari pengganti Linda almarhum kakakmu itu, jikalau sudah begitu apakah Ibu masih diijinkan tinggal di sini?" keluh Ibu sejurus kemudian
"Tapi Bu," Lily berusaha membantah perkataan Ibu
"Yach.. Ibu pikir daripada kau di sana di sia-sia lebih baik lepaskan Mas Indramu itu, mungkin Mas Elmo akan ijinkan Ibu tinggal di sini, tapi apakah calonnya akan mengijinkan juga?" masih tetap dengan bunyi lembut yang membujuk.
"Bagaimana dengan Ricky Bu?" tanya Lily lirih.
"Anakmu itu sudah cacat, kau ya harus berpikir untuk kebaikannya bukan untuk dirimu sendiri, Ibu rasa mungkin beliau akan lebih berbahagia bilamana di tempatkan di panti asuhan oleh alasannya bisa bermain dengan teman-teman senasibnya. Justru beliau akan menderita jikalau kau paksa untuk bergaul dengan belum dewasa normal lainnya," saran Ibu melanjutkan
Hening kemudian hanya denting piring yang beradu dengan sendok yang sedang dipersiapkan oleh Ibu mertuaku dan Lily putri bungsunya.
"Seandainya kau bisa mempunyai Mas Elmo, kita masih bisa tinggal di sini bila tidak Ibu tak tahu kita harus kemana lagi?" keluh Ibu.
"Bu..," hanya itu ucapan Lily terputus ketika tiba-tiba..
"Good morning, Pa," teriak Shanti anakku yang paling kecil dari atas tangga menyapaku yang sedang melongo di tangga mendengarkan percakapan tadi yang berasal dari ruang makan.
"Good morning honey," sapaku pula seraya melanjutkan langkahku menuruni tangga.
"Hi.. Shanti," sapa Lily seraya memperlihatkan wajahnya dari pintu ruang makan.
"Hi.. saya mandinya nanti yach," ungkapnya seraya kembali ke kamarnya terburu-buru.
"Eehh.. abang mana?" Lily bertanya dengan nada yang cuku p keras.
"Masih bobo..," terdengar jawaban dari balik pintu kamar tidur.
"Pagi Mas," sapa Lily sambil tersenyum manis.
"Pagi juga,"
"Pagi Bu," sapaku melanjutkan setelah bertemu dengan Ibu di ruang makan itu.
"Pagi,.. ini nasi goreng buatan Lyly nich," promosi Ibu melanjutkan.
"Wah.. terima kasih nich sudah merepotkan," ujarku sedikit berbasa basi.
"Sudah buruan makan.. nanti keburu hirau taacuh jadi nggak enak, supaya Ibu bangunkan belum dewasa dulu," tukas Ibu.
Dengan cekatan Lily melayaniku dengan mengambilkan nasi goreng tersebut sementara saya sendiri menyeruput secangkir teh manis sebagaimana kebiasaanku semenjak dulu. Di kantor pikiranku juga masih berkutat dengan pembicaraan Ibu tadi pagi, sehingga bersama-sama tidak seluruh pikiranku terkonsentrasi untuk pekerjaan. Masih terngiang-ngiang kemungkinan saya untuk memperistri Lily.. mungkinkah?
Sore hari ketika pulang kerja..
Sementara Lily berlutut untuk mencapai rak lemari yang paling bawah, sedangkan saya berdiri di samping sambil memperhatikannya. Tanpa sadar pandanganku tertuju pada buah dadanya yang nampak indah dipandang dari atas tersebut. Nampak terang lekukan buah dadanya oleh alasannya beliau memakai kaos yang longgar sehingga bab depannya agak terbuka ketika beliau dalam posisi yang sedikit membungkuk tersebut. Melihat pemandangan yang demikian mempesona, penisku terus saja menegang sehingga memperlihatkan tonjolannya di balik handuk yang kukenakan tersebut.
"Nach ini kaos..," suaranya terputus di tengah jalan ketika dalam posisi berlutut menyerupai itu menyerahkan kaos yang kuminta padaku oleh alasannya pandangannya terpaku pada batanganku yang mengeras di balik handuk. Kusadari waktu 2 bulan telah berlalu tanpa hubungan sex tentunya sulit bagiku, namun tertutup oleh kesibukanku. Sedangkan baginya.. dimana Mas Indra, suaminya, yang semenjak semalam berjanji untuk menjemputnya, setelah selama ini Lily membantu rumah tanggaku yang porak poranda semenjak ditinggal kepergian almarhum Linda, istriku yang juga abang dari Lily, mengurus anak-anakku, rumah tangga dan sebagainya.
Lily melongo dan tertunduk aib yang bagiku itu yaitu kode bahwa beliau tidak menolakku, sehingga kuberanikan diriku untuk membuka handuk tersebut sehingga kini tersembullah batangku yang telah tegak menantang dengan badan telanjang menyerupai ini, dimana masih ada tetesan air yang masih belum mengering, kuyakin menambah sexy penampilanku malam itu.
Perlahan kubangunkan Lily dan segera kukecup keningnya perlahan turun ke arah pipi dan menelusuri lehernya. Dengusan nafas yang memburu menciptakan adrenalinku terus meningkat, kuusap lembut pundaknya, telinganya, disertai dengan kecupan hangat yang kulaku kan dengan sepenuh hati.
"Mas El.. jangan," pintanya sesaat sebelum kucoba untuk melepaskan kaosnya.
"Lily," gumamku dengan pandangan mata memohon sehingga kuyakin sulit baginya untuk menolakku terlebih deru birahinya juga terus merayap keatas ubun-ubun.
Kukulum putingnya yang masih kecil kolam anak gadis, membuatku gemas.
"Mas.. ergh," rintihnya perlahan.
Belaian hangat jariku terus mengusap seluruh permukaan kulitnya yang putih mulus halus terawat disertai dengan jilatan dan pijatan ringan. Perlahan kudorong Lily sehingga rebah di kasurku.
"Mas kesepakatan jangan dimasukkan yach.., saya masih milik Indra," rintihnya kembali ketika kucoba mencopot celana pendeknya. Ternyata Lily tidak mengenakan celana dalam di balik celana pendeknya tersebut sehingga segera nampak rerumputan hitam dengan panjang yang seragam dan terawat dengan rapih.
"Iya saya janji," sahutku tanpa berhenti melepaskan celana pendeknya tersebut.
Harum amis tubuhnya terus memompa birahiku namun perlakuanku tetap saja lembut dan tidak terburu -buru untuk membawa Lily menikmati belaian asmara ini. Jilatan mandi kucing yang kulancarkan ini menciptakan Lily semakin terlena dan pasrah. Jilatan demi jilatan yang menyusuri setiap inci permukaan kulit dadanya, turun ke lembah buah dadanya, terus turun menelurusi garis tengah untuk mencapai kubangan di tengah pusaran perut, menciptakan otot perutnya tertarik tertahan menahan geli nikmat yang tidak terkira.
Kulewatkan bab padang ilalang hitam di sana, namun kumulai dari lipatan paha bab dalam kanan dan kiri yang terus menuruni jenjang kakinya dari bab dalam hingga mencapai punggung kakinya dan berakhir dengan teriakan tertahan yang disertai hentakan kakinya, "Akhh.."
Kubalikan tubuhnya dan kini jilatannya merayap naik dari bab tumitnya menelusuri betis indahnya sedikit ke bab dalam, tidak kupaksa untuk membuka lipatannya namun terus naik hingga ke punggung dan berakhir di sekitar tengkuknya yang mulus, disertai dengan bulu kuduknya yang telah berdiri membuatku semakin gemas, sehingga gigitan sedikit keras kuberikan padanya yang menambah sensasi nikmat, disertai dengan remasan jemari lentiknya pada bantal yang sempat diraihnya untuk membuatkan kenikmatan.
Puas bermain di punggungnya kembali kubalikkan tubuhnya, sesaat mata kami sempat beradu pandang, terlihat sayu tertutup perlahan dan menggodaku untuk mengecup lembut bibirnya. Kulumanku menerima jawaban yang malu-malu dan segera kuterobos dengan lidahku untuk mengait lidahnya sehingga pagutan lidahku bagaikan anutan listrik untuk mencetuskan butiran keringat halus bagaikan tetesan embun di dahinya.
Perlahan namun niscaya sambil berpagutan tersebut kunaiki badan mungilnya dan Lily sempat melirik ke beling yang ada di lemari pakaian dan terang nampak badan mungilnya kini berada dibawah tubuhku yang tinggi besar, sensasi tersendiri melihat tubuhku menindih badan mungilnya dimana gres kali ini dialaminya bahwa seorang laki-laki yang bukan suaminya tengah menindihnya dalam keadaan badan yang bugil, telanjang bulat.
Batanganku yang telah mengeras sempurna berada di atas perutnya dan ketika seluruh berat tubuhku telah menindihnya terang sekali kurasakan getaran tubuhnya laksana menggigil akhir menahan birahi. Kulumanku belum kulepaskan dan lidahku terus bermain dengan lidahnya dengan respon yang semakin menggila disertai lenguhan birahi.
Ketika kulepaskan pagutan liar itu, segera ku buka lebar pahanya sehingga terang terlihat ilalang hitam di bab bawah telah lepek dan tanpa rasa malu-malu lagi Lily terang membentangkan kakinya lebar-lebar, memberiku jalan untuk menerobos masuk. Namun tak kulakukan itu, sebaliknya perlahan kubuka lipatan bibirnya sehingga nampak celah memanjang bagaikan irisan roti dan diikuti dengan mengalirnya secara perlahan cairan kental menyerupai lem anak SD.
Setelah kujilat 1-2 kali sapuan, segera kuhisap berpengaruh di antara celah yang terbuka itu dan segera kurasakan beberapa cc cairan kental bening itu bagaikan benang yang ditarik dari sumur paling dalam dibetot keluar, akibatnya..
"Mas..," lengkingan tinggi Lily disertai dengan hentakan berulang kali dari pinggulnya yang tertarik ke atas dan kemudian berakhir dengan kekakuan pada tungkai kakinya selama beberapa ketika dan berakhir dengan selesainya hisapanku pada celah vaginanya.
Kubiarkan Lily yang telah mencapai orgasme pertamanya, matanya masih tertutup rapat tak bergerak menikmati gulungan birahi yang mulai mereda menyisakan kelelahan yang teramat sangat. Sesaat kemudian belaian jari lentiknya yang mengusap wajahku menyadarkanku dari lamunanku.
"Thanks yach.., Mas belum yach?" tanyanya sendu merasa bersalah.
Segera kukembangan senyum manisku yang menusuk kalbu, "Enak..," tanyaku suatu pertanyaan kurang pandai yang seharusnya tak perlu kutanyakan.
Anggukan halus dari Lily membenarkan pertanyaanku dan segera kulanjutkan "Pernah diberikan oleh Mas Indra?" selidikku untuk membandingkan kemampuanku.
Lily meraih penisku dan mengocoknya perlahan. "Mas Indra tidak pernah membelai, beliau lebih suka tembak pribadi dan itu juga nggak lama, sebentar juga keluar setelah itu tertidur tapi..," sahutnya memutus di tengah jalan.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Kalo besar sich lebih besar Mas Indra, jadi tiap kali sakit sesudahnya. Mungkin kurang foreplay kali yach," sahutnya untuk memperlihatkan alasan.
"Oh..," sahutku yang yakin bahwa apa yang kuberikan niscaya lebih berkesan dibandingkan dengan Indra suaminya.
Buliran keringat halus di keningnya dan sepanjang lehernya menggodaku untuk kembali menjilatnya dan kali ini Lily mengelinjang geli. Namun tak kuperdulikan. Kujilat habis seluruh buliran keringat di dahi dan sepanjang lehernya menelusuri uratnya kanan dan kiri yang berkilau tertimpa sinar lampu dan tanpa terasa tubuhku yang besar kembali menindihnya dan sempat melongo tatkala kurasakan batanganku terjepit di atas perutnya. Senyum penuh rasa aib berkembang di bibir Lily tatkala kedutan penis kuberikan padanya sehingga terang terasa di atas perutnya. Pagutan lidahku kembali menghisap bibirnya disertai pilinan jari jemariku yang lincah bermain di antara kedua putingnya.
"Mas.. jangan," pekiknya terkejut ketika kucoba untuk memasukkan penisku ke vaginanya.
"Iya dach.. saya bermain di depan aja yach," janjiku menenangkannya.
"Aku kocok saja yach," pintanya tergetar menahan birahi yang berusaha menerjang masuk oleh alasannya ujung kepala penisku telah berhasil membuka bibir kemaluannya dan bergesek di muara vaginanya. Aku menggeleng tanda tak setuju.
"Tapi jangan dimasukkan yach.. saya ngga mau merusak perkawinanku dengan Mas Indra, saya masih miliknya," rintihnya tertahan antara sadar dan nafsu.
"Aku kesepakatan dech," sahutku sekenanya oleh alasannya tabrakan kepala penisku terus memperlihatkan sensasi nikmat yang tiada taranya.
Hisapanku pada kedua putingnya, memaksa puting itu telah membesar sekitar 2 kali lipat dari semula, antara nanah dan juga rangsangan yang ada saya tak mempedulikan itu, namun permainan lidahku di putingnya membawa kenikmatan tersendiri sehingga tanpa ada penolakan lagi yang kuterima tahu-tahu seluruh batang penisku telah tertanam di rongga vaginanya dan ketika Lily tersadar..
"Mas, kok dimasukkan, tadi janjinya nggak masuk," protesnya dengan nada pasrah.
"Tanggung Li.., saya bener-bener nggak tahan," kataku seraya mulai memompa.
Busyet bener dach otot-otot vagina Lily, masih sangat kencang walaupun beliau pernah melahirkan, ototnya masih kencang sekali hasilnya tentu nikmat yang kurasakan ini kolam bermain dengan anak ABG saja. Hal sama juga dirasakan Lily bahwa dinding vaginanya masih ketat sehingga ketika saya memompa, beliau juga mengimbangi dengan goyangan pinggulnya untuk menekan ke atas, ketika kutusukan masuk sedalam-dalamnya, dan itu juga dikombinasikan dengan kontraksi otot kegelnya yang sangat baik, sehingga yang kurasakan dan kunikmati yaitu empotan vagina yang luar biasa.
Irama genjotanku semakin berpengaruh dan menemukan iramanya dengan goyangan pinggul Lily, yang secara mencuri juga memandang di dinding beling sehingga ketika ini terang nampak badan mungilnya timbul karam di kasur busa mengikuti hentakan tubuhku. Buliran keringat sebesar jagung telah membasahi tubuhku dan badan Lily yang menetes ke kasur busa dan bantal, seiring dengan dengus nafasku yang terus berpacu ditimpali oleh lenguhan dan rintihan Lily yang berkejaran.
Semakin usang kurasakan semakin sempit liang vagina Lily, sehingga tabrakan yang terjadi semakin mantap dan ketika kulirik terang terlihat lipatan bibir vagina Lily ketika ini mengikuti gerakan penisku, yang terang menonjolkan urat darahnya berwarna kebiru-biruan keluar masuk laksana mengurut batang penisku.
Secara refleks kini Lily telah mengangkat secara maksimal kedua tungkainya ke atas untuk memaksimalkan nikmat dunia yang kuberikan dan kubantu dengan mengangkat kakinya lebih tinggi lagi dan meletakkannya dipundakku.
"Hhh.. hh..," desisku seraya menghunjam-hunjamkan penisku ke dalam liang vaginanya sedalam mungkin.
"Aak..," desisan halusnya juga tak kalah gencarnya mengiringi tingkatan birahi yang terus mendaki untuk mencapai kepuasan tertinggi. Tak usang kemudian kurasakan rasa penuh, gatal dan kurasakan adanya desakan dari dalam yang akan segera memuntahkan lahar sperma.
"Ugh.. ahh..," pekik Lily tak tertahankan disertai dengan kejangnya ke dua tungkai kakinya dan tentu saja jepitan vagina itu menjadi maksimal sehingga akupun tidak tahan.
"Lily.. aku.. sampai," teriakku tanpa tertahankan disertai dengan hentakan berpengaruh menghantam vaginanya.
Crot.. crot.., bendungan lahar spermaku tak tertahankan lagi menyembur dengan dahsyatnya menghantam dinding verbal rahim Lily. Luluh lantak rasanya tulang belulang di tubuh, sehingga badan besarku bagaikan tak bertenaga ambruk menindih badan mungil Lily. Campuran keringat kami berdua di atas permukaan kulit memperlihatkan sensasi tersendiri, sementara kesadaran kami juga hilang untuk sesaat.
Antara sadar dan tak sadar sempat kulihat bayangan Ibu diuar pintu kamar sesaat sebelum terdengar pintu yang ditutup, memang tadi pintu itu tidak tertutup rapat sich.
"Ibu yach?" tanya Lily memandangku terkejut.
Aku tersenyum dan mengecup keningnya dan membiarkan penisku untuk tetap berada di vagina Lily, sebaliknya Lilypun membiarkan vaginanya untuk tetap menampung penisku dan kamipun tertidur pulas alasannya kelelahan.
Tamat