Nikmatnya Istri Anak Buahku 1

Ceritanya dimulai sewaktu saya ditugaskan sebagai staff di pabrik pengolahan minyak sawit di salah satu perkebunan di Sulawesi. Namaku Alex, umurku 27 tahun, belum menikah. Sebagai seorang staff yang gres pindah ke tempat perkebunan, dimana masyarakat yg tinggal sangat berjauhan kecuali karyawan dan staff perkebunan yg sengaja dibentuk dalam satu perumahan,mutlak sebagai pendukung utama opersional yang sewaktu-waktu bisa dipanggil dalam waktu 24 jam. Walaupun sebagai staff, sebab sebelumnya perumahan sudah diisi oleh sebagian karyawan yg sudah duluan menempati, saya menempati rumah kopel kayu (dua rumah dempet menjadi satu bangunan) ketiga dari ujung dan agak kecil yg bergotong-royong kemudahan untuk karyawan biasa. Manager pabrik sendiri menganjurkan supaya memindahkan karyawan yg sudah menempati kemudahan rumah (rumah single beton) yang bergotong-royong diperuntukkan bagi staff bujangan maupun keluarga, tapi untuk mengambil hati para karyawan yang mana nantinya juga akan menjadi bawahan saya Akhirnya saya pun minta supaya diijinkan menempati rumah kopel
ketiga dari pinggir menghadap ke timur berhadapan dengan rumah yang menghadap ke barat dibatasi oleh jalan besar belum diaspal tapi sudah dikerasin.
Rumah tetangga sebelah kiri yang agak berjarak tanah kosong selebar satu rumah ditempati oleh karyawan pria yang sudah berkeluarga teapi istrinya masih tinggal di rumah orangtuanya,jauh dari lokasi perkebunan. Biasanya ia pulang sekali sebulan untuk mengantarkan honor bulanan untuk nafkah anak istrinya.Rumah sebelah kanan yang merupakan pasangan rumah kopelku ditempati oleh karyawan pria berumur 35 tahun, namanya bersama Nardi bersama istrinya yang berumur 33 tahun, namanya Hartini. Hartini walaupun bukan termasuk perempuan kota, tapi sangat modis dan mengikuti kemajuan jaman diubahsuaikan dengan kondisi ekonomi. Yang paling menciptakan saya sangat kagum yakni bentuk payudara yang sangat padat berisi dan body yang cenderung montok. Dengan kondisi rumah kopel kayu ibarat itu biasanya sepelan apapun pembicaran ataupun gerakan dalam rumah akan terasa di rumah sebelah. Dan dikala itu kebetulan Nardi masuk dalam shift-1 dibawah pimpinan saya.Karena saya masih bujangan dan memang bukan tipe yang rajin ngurus rumah, untuk makan biasanya saya makan di warung yang berada di luar lingkungan perumahan berjarak sekitar 500 meter dari perumahan pabrik dan 50 meter dari pabrik. Untuk basuh pakaian, saya usahakan basuh sendiri walaupun hanya satu kali seminggu. Seringkali jikalau udah malam atau hujan, terpaksa saya tidak makan nasi, hanya mengandalkan mi instant yang direbus seadanya. Karena mungkin kasihan, pada suatu sore sepulang kerja shift-1 pagi, kami bertiga, aku, Nardi dan Hartini ngobrol di teras, dan dikala itu Nardi yang menjadi bawahanku itu menyarankan supaya makan di rumahnya saja setiap hari dengan membayar secukupnya kepada istrinya.

Akhirnya terjadi kesepakatan untuk makan setiap hari sekalian basuh pakaian ditanggung jawabi oleh Hartini. Karena setiap hari berdekatan dan makan bersama semakin usang kekerabatan kamipun semakin bersahabat dan tidak sungkan lagi ngobrol berdua tanpa suaminya. Awal insiden pada suatu sore sepulang kerja sekitar jam 16.00, dan Nardi masih lembur di pabrik untuk mencari komplemen saya dan Hartini duduk ngobrol di teras. Saat itu saya menanyakan kenapa mereka yang sudah menikah 9 tahun belum punya anak. Dia dengan malu-malu bercerita bahwa mereka sudah sangat menginginkan anak dan hingga dikala ini Hartini sudah periksa ke dokter dan dinyatakan tidak ada masalah, dan suaminya sendiri katanya tidak mau periksa sebab merasa tidak ada kelainan dalam hal fisik, dan kebutuhan batin istrinya sanggup terpenuhi. Dari situ, semakin usang pembicaraan kami semakin bebassampai saya bercerita bahwa saya pernah memiliki bekas pacar yang fisiknya agak semok seperti
Hartini, dan iseng-iseng saya menyampaikan bahwa biasanya perempuan yang cenderung semok memiliki payudara yang lembek dan turun dan rambut vagina sedikit dan jarang-jarang. Hartini membantah bahwa tidak semuanya begitu, dan ia sendiri menyampaikan bentuk kepunyaan ia sangat bertolak belakang dengan yang saya katakan.

Karena saya ingin tau saya katakana bahwa Hartini niscaya bohong, tapi ia menyangkal, balasannya dengan jantung berdebar keras takut jikalau Hartini murka saya minta tolong apabila bersedia ingin melihatnya.

Tapi mungkin demi menjaga supaya ia tidak dianggap murahan, ia menolak keras, usang kelamaan saya memohon dengan muka akal-akalan dibentuk kasihan ditambah alasan bahwa sudah kangen banget sama pacar yang dikala itu berada di Jakarta yang biasanya sekali seminggu bertemu, balasannya ia menyampaikan dengan pipi merah bahwa saya boleh melihat ia tapi dari jauh dan dihentikan menyentuhnya.Saya tentu saja dengan cepat menyetujuinya. Dengan gerak malas-malasan atau dibentuk akal-akalan berat hati, ia berjalan menuju kamar belakang yang berdampingan dengan kamar depan dan tak lupa menutup jendela belakang yang berhadapan dengan lahan perkebunan masyarakat untuk menjaga apabila secara kebetulan ada orang yang bekerja di lahan tersebut. Kemudian ia berdiri sambil tersenyum malu-malu kepada saya yang tak mau melepasakan pemandangan indah tersebut dari jendela depan yang sengaja saya atur posisi saya masih di teras tetapi kepala saya melongok ke dalam rumah seperti jikalau orang melihat dari halaman ataupun lewat dari jalanan kami sedang berbicara dengan orang yang berada di dalam rumah.

Jarak antara posisi duduk saya (diperbatasan teras rumah saya dengan rumah dia) hanya berjarak sekitar empat meter saja ke posisi ia berdiri di kamar belakang. Dengan lagak seorang model ia bergerak pelan-pelan membuka kaos birunya sambil jalan ke kiri dan kanan secara perlahan hingga ke balik pintu kamar hingga mata saya kadang tidak bisa melihat pemandangan yang mengasyikkan, tetapi setiap mau ke arah balik pintu saya perlahan teriak
“Tin, jangan hingga kesitu dong, saya nggak bisa lihat nih.”.


Sepertinya Hartini memang sengaja menciptakan saya penasaran. Kaos yang ditarik ke atas kemudian dijepit oleh ketiaknya dan kelihatan BH berwarna merah menyala seperti tidak bisa menutupi semua payudara semok putih yang menyembul keluar dari kepingan atas BH nya seperti protes mengapa ia dijepit terlalu keras.
Setelah didiamkan sekitar 30 detik, sambil tersenyum mengedipkan mata sebelah kepada saya,
dia pun mulai membuka kancing depan BH dan membiarkan cup BH nya menjuntai kebawah. (Akhirnya saya ketahui bahwa Hartini mempnyai ukuran 36 dan cupnya saya kurang tau, yang terang satu telapak tangan saya masih belum bisa menutupi sebelah payudaranya dan ia memiliki BH yang tidak memiliki kancing dibelakang). Mata saya seperti mau keluar melihat pemandangan tersebut, sedangkan ia sendiri seperti besar hati menatap bagaimana saya sangat terpesona dengan payudaranya dengan puting sebesar puntung rokok Sampoerna Mild dan berwarna coklat kemerahan . Dalam 30 detik seperti saya tidak bernafas tidak mau melepaskan pandangan saya hingga balasannya ia berseru pelan “Udah ya, ntar lagi suamiku pulang”
Saya tidak sanggup berkata apapun dikala itu dan sehabis merapikan pakaiannya, Hartini kembali ke teras
seakan-akan tidak terjadi apa-apa kecuali berdiam diri dan duduk diteras rumahnya sedangkan saya sudah
pindah duduknya kembali ke teras rumah saya. Setelah beberapa lama, perlahan berkata,
“Jangan bilangin sama siapa-siapa ya?” kelihatannya Hartini sangat ketakutan apabila diketahui orang lain.
“Jelas dong, masak gua bilangin sama orang, kan gua juga menanggung resiko”
Sesaat kemudian dari jauh sudah kelihatan bahwa Nardi sudah pulang bersama teman-temannya yang ikut
lembur. Kami pun berusaha berbicara normal tidak perlahan lagi tetapi membicarakan yang lain.
Setelah menaiki tangga, Nardi pribadi menyerahkan tas bekalnya kepada Hartini dan Hartini langsung
membawa masuk sambil memberesi tempat bekal suaminya. Saya dan Nardi ngobrol sebagaimana layaknya
bertetangga walaupun ia tetap menaruh hormat sebab bagaimanapun jikalau di pabrik ia menjadi bawahan
saya.
Malamnya saya terus memikirkan persitiwa tadi sore, kenapa ia bersedia memperlihatkan sesuatu yang
harusnya hanya boleh dilihat oleh suaminya, padahal ia menyampaikan dalam hal kepuasan batin dia
mengakuinya. Dalam hati saya berniat untuk lebih jauh., lagi mengingat bahwa Hartini tidak marah.
Besoknya kira-kira dalam situasi yang sama sepulang kerja kami ngobrol kembali, dan saya beranikan untuk
memancing lagi. “Kemarin memang benar ya, punya kau memang anggun sekali bukan sebab BH”.
Dia tersenyum manis sedikit aib mungkin merasa besar hati dengan kebanggaan yang keluar dari verbal saya.
“Tapi saya nggak yakin bahwa rambut bawah kau bukan ibarat yang saya lihat punya bekas pacarku
dulu”
Dengan masih tertawa kecil ia memperbaiki rambutnya dengan kedua tangannya. “Kan kemarin saya bilang apa,sekarang minta itu,sekarang ini,besok minta yang lain lagi dong Awas lho
nanti tertangkap berair pacarmu yang kini di Jakarta,tau rasa deh.”
“Nggak mungkin ia tahu, kecuali kau yang bilangin”
Walaupun saya menjawab menyampaikan tidak perlu khawatir, tapi dalam hati saya bertanya kenapa justru
pacar saya yang ia khawatirin bukannya diri sendiri atau suaminya. Berkat bujukan dan rayuan seorang
laki-laki walaupun bukan seorang ahli, ia berkata perlahan “Tapi ingat ya, hanya sebentar dan sekali ini saja ya. Aku takut nanti tertangkap berair sama suamiku, bisa dibunuh
aku nanti. Sekalian awasi orang lain mana tau ada yang mau kesini” Saya hanya mengangguk cepat, tak sabar melihat pemandangan yang akan saya lihat.
Perlahan Hartini berjalan menuju kamar belakang sambil saya menikmati pantatnya ibarat pantat bebek
sedang berjalan. Pemandangan dari belakang menciptakan penis saya sudah mulai naik dan saya langsung
membereskan posisi ****** saya supaya tidak sakit. Sesampai di kamar ia pun tampaknya agak gugup
mengintip sekeliling luar rumah dari celah papan. Sebentar kemudian ia menaikkan rok katun berwarna
hitam setinggi lutut hingga celana dalam merahnya kelihatan. Mata saya seakan tidak mau berkedip takut
melewatkan pertunjukan gratis tersebut. Dia menatap saya dengan mata gugup, tampaknya ingin pertunjukan
tersebut.
“Lex, udah lihat kan” teriaknya perlahan ibarat berbisik. “Kan belum dibuka, tadi udah akad boleh lihat dari jauh. Kalau nggak saya aja deh yang buka ke situ ya”
sahutku dengan perlahan sambil mata mengawasi sekeliling, tapi saya yakin masih kedengaran kepada dia.
“Jangan …jangan kesini, disitu aja.”dia menjawab tampaknya ketakutan. Saya pun menganggukkan kepala .
Kemudian ia melepaskan lagi rok yang sebelumnya diangkat hingga jatuh ibarat posisi biasa, dan kedua
tangannya masuk dari bawahnya menurunkan celana dalamnya hingga lepas, dengan sebelah tangan masih memegangi celana dalam kemudian Hartini mengangkat roknya kembali ke atas. Ya ampun……Vaginanya tampaknya tertutupi oleh pegunungan hitam. Dia menatap saya dan mengangguk dengan ekspresi
meminta persetujuan supaya selesai. Saya sendiri berusaha supaya lebih usang lagi menonton, tapi 15 detik
kemudian ia pribadi membungkuk dan menggunakan kembali celana dalamnya. Kemudian ia membuka pintu kamar belakang untuk menghilangkan kecurigaan suaminya apabila pulang nantinya dan pribadi menuju dapur untuk memberesi makan malam kami nantinya dan tidak bertemu lagi hingga kami makan malam. Dalam hati saya mulai yakin bahwa saya tidak bertepuk sebelah tangan. Selama ini apabila saya merasa sudah horny, sayang melampiaskan dengan onani di kamar sambil tiduran ataupun di kamar mandi.
Semenjak insiden tersebut saya mulai berani memeluk, mencium maupun meraba sekalian menciumi buah
dadanya sewaktu giliran Hartini mau mengantarkan pakaian higienis dan menyusun di lemari pakaianku yang
saya tempatkan di kamar tidurku. Biasanya sewaktu ia mau ngantar pakaian di depan pintu kamar biasanya
dia sudah kasih kode jari di mulut, memberi warta tidak aman. Apabila kondusif ia cuma senyum kecil, saya
mengartikan arahan aman. Disaat ibarat itulah biasanya saya bisa menikmati bibir maupun teteknya.
Kadang saking gemasnya saya tak sadar mengisap puting buah dadanya hingga ia kesakitan dan berbisik
“Lex…. Jangan keras-keras. Emang nggak sakit.”
Biasanya saya pribadi minta maaf dan mengelus-elus buah dadanya dengan mesra. Ada kalanya Hartini
tidak mau dicium sebab sedang pake pewarna bibir, katanya nanti jikalau dicium bisa hilang, suaminya bisa
curiga, Sampai hingga sewaktu memperlihatkan uang makan dan basuh pakaianku pun selalu saya menaruhnya
sendiri di tengah buah dadanya gres saya tutup sendiri BH nya dan diakhiri dengan senyum dan cium.
Puncak perselingkuhan kami yakni dikala saya mau masuk shift sore, masuk jam empat sore dan biasanya
pulang jam 12 malam, jikalau buah sawit sedang panen raya dan menumpuk biasanya diteruskan hingga pagi.
Setiap shift sore biasanya saya akan pulang sekitar jam 7 atau 8 malam untuk malam, sementara bisa
bergantian dengan asistenku, biasanya jatah satu jam. Dan suami Hartini yaitu Nardi biasanya sebab tidak
punya kendaraan, malas pulang dan sudah membawa bekal dari rumah sore harinya. Sore itu sekitar jam 2
siang saya sudah mandi dan berkemas-kemas mau berangkat, sebab sebagai kepala shift harus koordinasi dulu
dengan kepala shift pagi, dan saya masih menggunakan handuk bertelanjang dada di kamar, Hartini tiba ke
kamar sambil menaruh jari diatas bibir, menerangkan tidak aman. Saya berbisik,
“Emang dimana suamimu” “Itu masih lagi tidur di kamar” jawabnya perlahan.
Hartini pun berjalan menuju lemari pakaianku sambil
tangan kirinya mencubit puting tetekku. Saya merasa geli, dan mau membalas mencubit teteknya. Dia mengelak sambil berbisik,
“Jangan sekarang,ntar malam aja,waktu pulang makan” “Dimana”
“Ntar ke kamar saja langsung, pintu belakang tidak kukunci, hanya ditutupkan saja”
“Tapi nanti jangan pake apa-apa ya.“ godaku pelan sambil main mata.
Saya membisu memikirkan kata-katanya, Sambil berjalan ke teras saya masih sempatkan meraba pantatnya
sampai ia menepiskannya. Saya kaget memikirkan ada apa Hartini malah mengundang saya malam-malam
ke kamarnya.

Bagian 2

Subscribe to receive free email updates: