Paranormal Mesum 2

Baru pasien yang ketiga, ibu yang saya inginkan memasuki ruangan kantorku, benar-benar anggun dan anggun tinggi besar dengan rambut sebahu, bibir sensual dan hidung mancung, kakinya mulus dan ramping benar benar aduhai. Ketika memperkenalkan diri, tangannya terasa hangat dan empuk sekali, suaranya yang agak serak membuatku makin terangsang sehingga hampir saya tidak mendengar ketika ia menyebutkan namanya Pratiwi. Aku berusaha bersikap damai dan masuk akal mendengarkan keluhannya. Pratiwi ialah seorang pengusaha yang menjadi rekanan pemerintah, omzetnya miliaran, tetapi belakangan ini bisnisnya mengendur alasannya ialah banyak tender yang meleset dan jatuh ke tangan pengusaha lain. Dia sudah berusaha macam-macam tetapi semuanya gagal total bahkan belakangan ini perusahaannya hampir kena penalti alasannya ialah kekeliruan karyawannya.

Pratiwi benar-benar gelisah dan ngeri oleh semuanya ini. Wajahnya yang anggun kelihatan tegang dan di cuping hidungnya kulihat bintik-bintik keringat menambah keseksiannya. Melihat saya memandangnya, Pratiwi juga balas memandang tanpa berkedip.

Tiba-tiba saya bertanya kepadanya, apakah beliau percaya bahwa kehidupan seksnya sangat mempengaruhi pekerjaannya, Pratiwi mengangguk dengan pelan, kulihat matanya sedikit berkedip ibarat kaget. Aku eksklusif menyambung pertanyaanku dengan pertanyaan yang saya sendiri tidak menyangka kalau itu keluar dari mulutku, alasannya ialah saya menanyakan apakah beliau seorang lesbian. Di luar dugaanku beliau mengangguk, tetapi beliau menambahkan bahwa beliau juga suka bekerjasama dengan pria. Aku menanyakan kepada Pratiwi, coba ibu tebak, berapa kira-kira panjang kemaluan saya, alasannya ialah kalau ibu sanggup sempurna menduganya, maka berarti saya sanggup menangkal dilema ibu. Pratiwi agak menyeringai mendengar perkataanku itu. Dengan ragu ia bertanya maksudnya panjang waktu tidur atau waktu berdiri. Aku menjelaskan yang mana saja pokoknya tepat. Pratiwi melamun sambil berpikir keras, saya tahu beliau gundah alasannya ialah ketika itu saya duduk di dingklik di belakang meja kantorku, dan akupun menggunakan pakaian lengkap sehingga beliau tidak memiliki bayangan apapun wacana penisku.

Tiba-tiba saja beliau meraih penggaris yang ada di mejaku dan merentangkan jari-jarinya di atas penggaris itu untuk kemudian ditunjukkannya kepadaku. Aku melihat angka yang tertera di ujung jari Pratiwi, saya kaget alasannya ialah di situ tercantum angka 18.5 cm, hampir sesuai dengan kenyataannya. Pratiwi bertanya apakah itu benar, saya hanya berkata coba ukur saja sendiri. Aku eksklusif berdiri memutari mejaku dan mendekati Pratiwi yang sedang duduk, kubuka celanaku dan kukeluarkan penisku yang masih lemas itu. Pratiwi melirik penisku dan mengambil penggaris untuk mencoba mengukurnya, dengan ragu-ragu satu tangannya memegang penisku sementara yang satunya memegang penggaris. Tentu saja ukurannya tidak sempurna alasannya ialah masih lemas, ibarat yang sudah kuduga, tangan Pratiwi meremas-remas penisku supaya bangkit dan mengurut-urut. Kubiarkan saja semua gerakannya itu, tetapi percuma saja alasannya ialah penisku tetap tidur nyenyak.

Tiba-tiba saja ia menundukkan kepalanya dan.., slep.., penisku sudah terjepit di antara bibirnya yang tebal itu, terasa hangat dan lembut sekali, kurasakan bibirnya menjepit penisku dengan gerakan yang lancar meskipun tak sedikitpun Pratiwi membasahi penisku dengan ludahnya. penisku mulai bangkit dan makin usang makin mengembang, sementara Pratiwi makin lancar mengulumnya, tanganku mulai bergerak meraba buah dada Pratiwi yang molek dan kenyal itu, tanpa ragu-ragu tanganku menerobos blousenya dan meremas buah dadanya, tak kukira bahwa Pratiwi tidak menggunakan beha, saya sanggup mencicipi puting susunya yang kecil tetapi keras ibarat kerikil itu, kuremas-remas payudaranya, dan kupelintir puting susunya. Rasa geli di sekeliling penisku membuatku jadi tak tahan lagi, bayangkan semenjak tadi saya sudah terangsang oleh ulah beberapa ibu yang saya temui, maka ketika ini rasanya sudah maksimal dan, syer.., syer.., croot, air maniku memancar keras sekali dua, tiga dan empat kali memancar memenuhi lisan Pratiwi, tak sedikitpun Pratiwi melepaskan penisku semuanya masuk di dalam mulutnya dan saking banyaknya hingga sebagian mengalir keluar dari samping bibirnya. Aku meremas buah dadanya sekeras-kerasnya Pratiwi membisu saja, beliau asyik menelan air maniku.

Setelah dilihatnya saya sudah puas, Pratiwi mengeluarkan penisku dari mulutnya dan eksklusif diukurnya penisku yang masih berdiri itu dengan penggaris. Dia tersenyum ketika melihat bahwa dugaannya benar. Aku juga tersenyum alasannya ialah hisapan Pratiwi yang nikmat itu. Tiba-tiba Pratiwi berdiri, tanpa kuduga ia mulai membuka pakaiannya sehingga telanjang bulat. Ia berkata bahwa kini saatnya saya memuaskan beliau supaya jadi seri. Aku jadi bergairah lagi melihat badan Pratiwi yang luar biasa itu, payudaranya molek dan kenyal dengan puting yang berwarna merah muda sangat harmonis sekali dengan kulitnya yang putih kekuning-kuningan itu, sementara ketiaknya juga berbulu lebat, sesuatu yang sangat saya senangi, sedangkan pangkal paha Pratiwi benar-benar menakjubkan, alasannya ialah meskipun bulu vaginanya sangat lebat, tetapi Pratiwi telah mencukur sebagian bulu kemaluannya sehingga hanya tinggal bab tengahnya tegak lurus dari pusar hingga ke bukit vaginanya.

Meskipun ketika itu kami masih sama sama berdiri, Pratiwi tak segan-segan merapatkan tubuhnya dan menciumku dengan mengeluarkan lidahnya yang hangat menelusuri rongga mulutku, tanganku dengan lincah mengarahkan penisku ke liang vaginanya yang sempurna melekat di depan penisku itu. Begitu ujungnya menempel, saya segera menggendong Pratiwi dan menekankan penisku hingga amblas ke dalam liang vaginanya. Dengan posisi menggendong Pratiwi dan lisan masih berkutat dengan ciuman saya berjalan menuju sofa. Pratiwi benar benar pemuas nafsu laki-laki rupanya, alasannya ialah meskipun dalam posisi yang sulit yaitu saya menggendongnya dan kakinya menjepit pantatku, beliau masih sempat juga menggerak-gerakan pantatnya untuk memilin penisku yang tampaknya melengkung alasannya ialah posisi badan kami yang berdiri ini. Begitu kami roboh di atas sofa, ciuman kami terlepas dan Pratiwi melenguh sejenak, mungkin beliau mencicipi enaknya sodokan penisku yang notok hingga ke liang rahimnya itu.

Tanpa aib malu Pratiwi mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan meletakkannya di atas bahuku. Posisiku jadi bebas sekali, dengan ringan saya mendayung liang vagina Pratiwi yang sudah mulai becek itu, dan diapun dengan lincah memutar-mutar pantatnya mengimbangi bacokan penisku. Kurasakan liang vagina Pratiwi yang peret dan berpasir itu menciptakan penisku terasa geli sekali, entah berapa usang saya memaju-mundurkan pantatku, tetapi Pratiwi masih juga belum mencapai puncaknya begitu juga diriku sendiri. Kuhentikan gerakanku dan kuminta Pratiwi untuk menungging supaya saya sanggup menyetubuhinya dari belakang, saya benar-benar mata gelap dengan nafsu. Aku tak peduli lagi kalau mungkin di luar masih ada pasien yang menungguku, yang penting sekali ini saya harus menciptakan Pratiwi terpuaskan dan selanjutnya membantu kesulitannya supaya tertanggulangi.

Ketika Pratiwi sudah menungging, tampaklah vaginanya yang sudah lembap kuyup itu di pantatnya juga banyak bulu vagina sebagai tanda kalau memang bulu vagina Pratiwi luar biasa tebalnya. Aku eksklusif menempelkan ujung penisku yang sudah merah padam itu ke celah vagina Pratiwi dan, "slep.., bloos..", penisku amblas hingga hanya tinggal pelirku saja yang menggantung di luar. Tanganku meraih buah dada Pratiwi dan meremas-remasnya, ketika itu mulai kudengar rintihan Pratiwi mula-mula pelan tetapi makin usang makin keras dan tiba-tiba kurasakan liang vagina Pratiwi mengejang-ejang dan hangat sekali. Kurasakan rasa geli dan nikmat yang luar biasa ketika itu, alasannya ialah jepitan vagina Pratiwi sementara saya merojoknya menciptakan penisku ibarat diurut. Dan tanpa sanggup kutahan lagi akupun ambrol mencicipi nikmatnya vagina Pratiwi, air maniku menyembur menabrak dinding kemaluannya dan bercampur dengan lendir yang keluar dari vaginanya. Aku terkulai lemas sementara Pratiwi menggigit pundakku alasannya ialah menahan rasa nikmat dan supaya tidak hingga berteriak alasannya ialah rasa nikmat tadi.

Dalam keadaan masih gemetar, saya segera menggunakan pakaianku kembali begitu juga dengan Pratiwi, wajahnya semeringah dan tersenyum terus. Aku berpura-pura ibarat tak ada apa-apa dan sesudah kami berdua duduk berhadapan, saya memanggil Mery masuk. Mery tersenyum melihat wajahku yang mungkin kentara kalau habis main seks itu. Aku minta dibuatkan minum dan Mery dengan patuh berbagi minuman buat kami berdua. Bagiku dilema Pratiwi bukan hal yang sulit dengan bermeditasi sejenak saya sudah berhasil menuntaskan masalahnya, alasannya ialah ada bapak pejabat yang pernah ditolak olehnya untuk bekerjasama intim rupanya sakit hati dan selalu mempersulit Pratiwi. Aku katakan pada Pratiwi bahwa bapak itu kini sudah berubah tetapi sebaiknya Pratiwi jangan sekali kali memberi beliau kenikmatan alasannya ialah berbahaya. Pratiwi mengangguk manja dan ketika mau pulang beliau sempat mencium bibirku usang sekali. Aku berjanji pada Pratiwi untuk sekali kali makan siang dengannya tentu sesudah itu kita juga perlu kenikmatan seks.

Tamat



Subscribe to receive free email updates: